Rabu, 19 Mei 2010

Great Night in an Ordinary Day

Teks : Melisa Pramesti Dewi
Foto : Bondan Wahyutomo


Hari ini, 12 Mei 2010, setelah perjuangan yang cukup panjang mencari teman untuk menemani saya menonton konser, akhirnya jadi juga saya menonton konser biola, cello, dan flute dengan piano sebagai pengiring yang berjudul “Resital Trio” yang diselenggarakan di Lembaga Indonesia Prancis (LIP), 12 Mei 2010, pukul 07:30 WIB dengan tiket seharga tujuh ribu rupiah saja bersama sepupu saya yang hobinya jeprat-jepret.

Saya datang sedikit terlambat karena saya langsung tancap gas dari kursus bahasa Inggris di LIA dan mampir dulu di GIANT untuk membeli camilan karena saya belum makan, dan saya kelaparan. Ketika saya tiba di sana, sepupu saya yang bersedia menemani saya sedang menunggu saya bersama temannya, karena sayalah yang punya akses menuju tiket gratis, hehe. Saya dan sepupu saya dan temannya juga, masuk ke auditorium LIP tepat saat penampilan pertama dimulai. Sepupu saya memilih untuk duduk di depan karena, seperti biasa, ia ingin mendapatan view yang bagus untuk dijepret sedangkan saya memilih duduk di belakang karena pemandangannya tidak terhalang oleh kepala-kepala penonton yang lain.

Belakangan saya mengetahui bahwa lagu pertama yang dimainkan tersebut berjudul “Sonata no. 5” karya Ludwig van Bethoveen yang dimainkan oleh Adi Bimo Wicaksono pada biola dan piano sebagai pengiring. Sayangnya saat itu saya tidak begitu memperhatikan permainan mereka karena saya baru saja datang sehingga pikiran saya masih memikirkan tentang bagaimana duduk senyaman mungkin dan belum siap menerima lagu klasik semacam itu.

Adi Bimo Wicaksono

Lagu kedua tiba-tiba saja dimulai. Kali ini mereka memainkan lagu karya Frederick Chopin yang berjudul “Variationen uber ein Thema von Rossini”. Sial lagi bagi saya karena lagu ini pun saya juga tidak memperhatikan. Bukan saja hanya karena saya bertemu dengan teman main piano saya yang bernama Mbak Chacha yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tapi juga karena penonton dibelakang saya iseng sekali dengan memotret menggunakan blitz >.<. Sesi pertama konser kali ini jadi kurang berkesan bagi saya. Selain alasan-alasan yang saya sebutkan sebelumnya, sepertinya para artis juga belum beradaptasi dengan baik pada malam hari itu, atau bisa dibilang mereka masih “warm up” dengan situasi dan kondisi yang ada sehingga, walaupun mungkin mereka bermain dengan baik, rasanya ‘gereget’nya belum ada sehingga permainan mereka terasa datar-datar saja.

Berbeda sekali pada sesi kedua, karena pada sesi ini permainan mereka menjadi benar-benar WOW. ‘Meditation from Thais’’ karya J. Massenet yang dimainkan oleh Justitias Jelita Zulkarnaen pada cello dengan iringan piano benar-benar memukau saya dan para penonton. Bukan hanya saja karena lagu dan permainannya yang benar-benar bagus, tapi juga karena cerita dibalik lagu tersebut yang membuat lagunya terasa begitu spesial.
Dua kali saya memainkan lagu tersebut, tapi baru kali ini saya benar-benar mengetahui bahwa ada cerita semacam itu dibalik nada-nadanya yang indah.

Karya itu berkisah tentang kisah cinta Athanael dan Thais. Athanael, seorang kristen yang taat berniat untuk mengkristenkan Thais, gadis yang dicintainya. Thais pun dibawa olehnya ke sebuah biara untuk melakukan meditasi (alasan mengapa judul lagunya Meditation). Namun ketika di biara, Thais jatuh sakit dan meninggal di sana meninggalkan Athanael dalam kesedihan yang begitu mendalam. Karya ‘Meditation fromThais’’ merupakan karya yang merepresentasikan kesedihan Athanael ketika ditinggal mati oleh Thais dan merupakan ungkapan cinta untuk Thais dari seorang Athanael.

Justitias Jelita Zulkarnaen

Konser pun terus berlanjut, dan kali ini Adi Bimo Wicaksono kembali tampil dengan biolanya memainkan lagu ‘Concerto in G major’ bagian satu, karya Wolfgang Amadeus Mozart dengan baik. Setelah itu Justitias kembali tampil lagi dengan cellonya dan memainkan lagu karya John Williams yang berjudul ‘Schindler’s List’.
Saya suka lagu ini karena komposisinya yang begitu bagus dan mudah didengarkan.
Karya-karya John William memang sering digunakan sebagai soundtrack-soundtrack film-film terkenal seperti dalam film ‘Star Wars’ dan ‘Harry Potter’ (saya suka karya ‘A Window to The Past’nya), dan karya ‘Schindler’s List’ ini juga digunakan sebagai soundtrack film yang berjudul ‘Schindler’s List’ juga yang dirilis pada tahun 1993 dan disutradai oleh Steven Spielberg. Maka tak heran jika karyanya yang satu ini seakan-akan ingin menceritakan sebuah adegan tertentu dengan nada-nada dan komposisinya yang indah.

Seperti pada konser-konser pada umumnya, lagu terakhir pasti adalah puncak acara karena lagu terakhir biasanya adalah lagu yang paling susah, paling lama, dan paling memukai. Demikian pula konser kali ini ditutup dengan pertunjukan yang menghebohkan dengan lagu yang berjudul ‘Candik Ayu, Candik Ala’ karya Singgih Sanjaya.

Karya ini adalah lagu klasik semi-kontemporer karena memadukan unsur-unsur modern (gamelan Jawa) dengan unsur-unsur lagu klasik. Lagu ini bercerita tentang kehidupan kita yang apa adanya, ada gelap ada terang, ada siang ada malam, ada baik dan ada buruk. Lagu ini dibuka dengan permainan piano oleh Utari Isfandini yang begitu heboh sehingga semua penonton terdiam karena semua nada pada pembukaan awal dimainkan dalam sf (keras banget) semua dan < (accent = dibanting-banting).

Setelah itu lagu ini dimainkan dengan penuh dinamika, mulai dari ppp (pianisisimo = pelan sekali) sampai fff (fortisisimo = keras sekali). Kemudian flute mulai dimainkan oleh Mei Artanto menambah suasana yang tadinya mistis dan mengerikan menjadi semakin mistis dan mengerikan. Ditambah lagi, ditengah-tengah permainan, tiba-tiba sang pianis berdiri dan memetik senar dalam piano yang suaranya benar-benar membuat bulu kuduk anda berdiri.

Lagu ini dimainkan sangat panjang sampai sekitar sepuluh menit lebih dan ditutup dengan sangat bagus sekali diiringi tepuk tangan yang meriah oleh para penonton. Konser malam mini pun usai dengan pemberian bouquet kepada para pemain. Spesial sekali untuk Mei Artanto, karena Singgih Sanjaya sendirilah yang memberi bouquet untuk dirinya.

Mei Artanto

Malam ini sangat menyenangkan, walaupun konsernya terasa singkat, tapi saya bisa belajar banyak dari malam ini. Mendengar lagu-lagu baru yang tentunya menambah daftar koleksi lagu yang saya sukai. Semoga saja, konser-konser seperti sering diadakan dan semoga saja gratis, haha.

--------------------

Melisa Pramesti Dewi adalah seorang pianis muda berbakat asal Yogyakarta, yang berada di bawah bimbingan langsung Utari Isfandini. Beberapa prestasi yang telah diraih adalah :
  • Juara 1 Pesta Musik Yamaha tahun 2003
  • Juara Harapan 1 Pesta Musik Yamaha tahun 2004
  • Juara 1 Pesta Musik Yamaha tahun 2006
  • Juara 2 Pesta Musik Yamaha tahun 2007
  • Juara 3 Piano Open Competition Semarang tahun 2008
Pengalaman:
  • Mengikuti Home Concert 1 dan 2 yang diadakan oleh Hana Musik dan Cressendo
  • Konser bersama oleh Wisma Musik Amabile tahun 2009
  • Resital Piano "My Little Story" bersama Hana Fayruzamira tahun 2009
  • Masterclass oleh Aryo Wicaksono di Institut Seni Indonesia tahun 2009