Kamis, 27 Oktober 2011

Rabu, 19 Mei 2010

Great Night in an Ordinary Day

Teks : Melisa Pramesti Dewi
Foto : Bondan Wahyutomo


Hari ini, 12 Mei 2010, setelah perjuangan yang cukup panjang mencari teman untuk menemani saya menonton konser, akhirnya jadi juga saya menonton konser biola, cello, dan flute dengan piano sebagai pengiring yang berjudul “Resital Trio” yang diselenggarakan di Lembaga Indonesia Prancis (LIP), 12 Mei 2010, pukul 07:30 WIB dengan tiket seharga tujuh ribu rupiah saja bersama sepupu saya yang hobinya jeprat-jepret.

Saya datang sedikit terlambat karena saya langsung tancap gas dari kursus bahasa Inggris di LIA dan mampir dulu di GIANT untuk membeli camilan karena saya belum makan, dan saya kelaparan. Ketika saya tiba di sana, sepupu saya yang bersedia menemani saya sedang menunggu saya bersama temannya, karena sayalah yang punya akses menuju tiket gratis, hehe. Saya dan sepupu saya dan temannya juga, masuk ke auditorium LIP tepat saat penampilan pertama dimulai. Sepupu saya memilih untuk duduk di depan karena, seperti biasa, ia ingin mendapatan view yang bagus untuk dijepret sedangkan saya memilih duduk di belakang karena pemandangannya tidak terhalang oleh kepala-kepala penonton yang lain.

Belakangan saya mengetahui bahwa lagu pertama yang dimainkan tersebut berjudul “Sonata no. 5” karya Ludwig van Bethoveen yang dimainkan oleh Adi Bimo Wicaksono pada biola dan piano sebagai pengiring. Sayangnya saat itu saya tidak begitu memperhatikan permainan mereka karena saya baru saja datang sehingga pikiran saya masih memikirkan tentang bagaimana duduk senyaman mungkin dan belum siap menerima lagu klasik semacam itu.

Adi Bimo Wicaksono

Lagu kedua tiba-tiba saja dimulai. Kali ini mereka memainkan lagu karya Frederick Chopin yang berjudul “Variationen uber ein Thema von Rossini”. Sial lagi bagi saya karena lagu ini pun saya juga tidak memperhatikan. Bukan saja hanya karena saya bertemu dengan teman main piano saya yang bernama Mbak Chacha yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tapi juga karena penonton dibelakang saya iseng sekali dengan memotret menggunakan blitz >.<. Sesi pertama konser kali ini jadi kurang berkesan bagi saya. Selain alasan-alasan yang saya sebutkan sebelumnya, sepertinya para artis juga belum beradaptasi dengan baik pada malam hari itu, atau bisa dibilang mereka masih “warm up” dengan situasi dan kondisi yang ada sehingga, walaupun mungkin mereka bermain dengan baik, rasanya ‘gereget’nya belum ada sehingga permainan mereka terasa datar-datar saja.

Berbeda sekali pada sesi kedua, karena pada sesi ini permainan mereka menjadi benar-benar WOW. ‘Meditation from Thais’’ karya J. Massenet yang dimainkan oleh Justitias Jelita Zulkarnaen pada cello dengan iringan piano benar-benar memukau saya dan para penonton. Bukan hanya saja karena lagu dan permainannya yang benar-benar bagus, tapi juga karena cerita dibalik lagu tersebut yang membuat lagunya terasa begitu spesial.
Dua kali saya memainkan lagu tersebut, tapi baru kali ini saya benar-benar mengetahui bahwa ada cerita semacam itu dibalik nada-nadanya yang indah.

Karya itu berkisah tentang kisah cinta Athanael dan Thais. Athanael, seorang kristen yang taat berniat untuk mengkristenkan Thais, gadis yang dicintainya. Thais pun dibawa olehnya ke sebuah biara untuk melakukan meditasi (alasan mengapa judul lagunya Meditation). Namun ketika di biara, Thais jatuh sakit dan meninggal di sana meninggalkan Athanael dalam kesedihan yang begitu mendalam. Karya ‘Meditation fromThais’’ merupakan karya yang merepresentasikan kesedihan Athanael ketika ditinggal mati oleh Thais dan merupakan ungkapan cinta untuk Thais dari seorang Athanael.

Justitias Jelita Zulkarnaen

Konser pun terus berlanjut, dan kali ini Adi Bimo Wicaksono kembali tampil dengan biolanya memainkan lagu ‘Concerto in G major’ bagian satu, karya Wolfgang Amadeus Mozart dengan baik. Setelah itu Justitias kembali tampil lagi dengan cellonya dan memainkan lagu karya John Williams yang berjudul ‘Schindler’s List’.
Saya suka lagu ini karena komposisinya yang begitu bagus dan mudah didengarkan.
Karya-karya John William memang sering digunakan sebagai soundtrack-soundtrack film-film terkenal seperti dalam film ‘Star Wars’ dan ‘Harry Potter’ (saya suka karya ‘A Window to The Past’nya), dan karya ‘Schindler’s List’ ini juga digunakan sebagai soundtrack film yang berjudul ‘Schindler’s List’ juga yang dirilis pada tahun 1993 dan disutradai oleh Steven Spielberg. Maka tak heran jika karyanya yang satu ini seakan-akan ingin menceritakan sebuah adegan tertentu dengan nada-nada dan komposisinya yang indah.

Seperti pada konser-konser pada umumnya, lagu terakhir pasti adalah puncak acara karena lagu terakhir biasanya adalah lagu yang paling susah, paling lama, dan paling memukai. Demikian pula konser kali ini ditutup dengan pertunjukan yang menghebohkan dengan lagu yang berjudul ‘Candik Ayu, Candik Ala’ karya Singgih Sanjaya.

Karya ini adalah lagu klasik semi-kontemporer karena memadukan unsur-unsur modern (gamelan Jawa) dengan unsur-unsur lagu klasik. Lagu ini bercerita tentang kehidupan kita yang apa adanya, ada gelap ada terang, ada siang ada malam, ada baik dan ada buruk. Lagu ini dibuka dengan permainan piano oleh Utari Isfandini yang begitu heboh sehingga semua penonton terdiam karena semua nada pada pembukaan awal dimainkan dalam sf (keras banget) semua dan < (accent = dibanting-banting).

Setelah itu lagu ini dimainkan dengan penuh dinamika, mulai dari ppp (pianisisimo = pelan sekali) sampai fff (fortisisimo = keras sekali). Kemudian flute mulai dimainkan oleh Mei Artanto menambah suasana yang tadinya mistis dan mengerikan menjadi semakin mistis dan mengerikan. Ditambah lagi, ditengah-tengah permainan, tiba-tiba sang pianis berdiri dan memetik senar dalam piano yang suaranya benar-benar membuat bulu kuduk anda berdiri.

Lagu ini dimainkan sangat panjang sampai sekitar sepuluh menit lebih dan ditutup dengan sangat bagus sekali diiringi tepuk tangan yang meriah oleh para penonton. Konser malam mini pun usai dengan pemberian bouquet kepada para pemain. Spesial sekali untuk Mei Artanto, karena Singgih Sanjaya sendirilah yang memberi bouquet untuk dirinya.

Mei Artanto

Malam ini sangat menyenangkan, walaupun konsernya terasa singkat, tapi saya bisa belajar banyak dari malam ini. Mendengar lagu-lagu baru yang tentunya menambah daftar koleksi lagu yang saya sukai. Semoga saja, konser-konser seperti sering diadakan dan semoga saja gratis, haha.

--------------------

Melisa Pramesti Dewi adalah seorang pianis muda berbakat asal Yogyakarta, yang berada di bawah bimbingan langsung Utari Isfandini. Beberapa prestasi yang telah diraih adalah :
  • Juara 1 Pesta Musik Yamaha tahun 2003
  • Juara Harapan 1 Pesta Musik Yamaha tahun 2004
  • Juara 1 Pesta Musik Yamaha tahun 2006
  • Juara 2 Pesta Musik Yamaha tahun 2007
  • Juara 3 Piano Open Competition Semarang tahun 2008
Pengalaman:
  • Mengikuti Home Concert 1 dan 2 yang diadakan oleh Hana Musik dan Cressendo
  • Konser bersama oleh Wisma Musik Amabile tahun 2009
  • Resital Piano "My Little Story" bersama Hana Fayruzamira tahun 2009
  • Masterclass oleh Aryo Wicaksono di Institut Seni Indonesia tahun 2009

Rabu, 21 April 2010

lapar....

tidak ada maksud apa-apa dalam postingan kali ini, gambar ini saya temukan di sebuah kos-kosan. Saya juga tidak ingin berkomentar banyak, silahkan anda memaknainya sendiri.

Sabtu, 07 November 2009

Pesona Nada Senja 2



deadmediafm.org
Gedung societet Taman Budaya Yogyakarta | 24 Oktober 2009

Apa yang membuat suatu karya seni menjadi sangat bernilai ? tentu saja salah satu tolak ukurnya adalah “Manifesto Imajinasi”. Silahkan runut pengetahuan kalian tentang sejarah seni sebagai pembuktian kalimat saya tersebut. Imajinasi menuntut kadar asam otak secara lebih, baik dari artis maupun konsumen karya tersebut. Imajinasi secara sinergis mengacu pada unsur kejutan yang disebabkan rekonstruksi atau bahkan dekonstruksi tatanan (disorder). Sebut saja peristiwa terkutuk semacam cabaret Voltaire (mengacu pada munculnya Dadaisme, 1916), subversi a la koloni Fluxus dari sebuah trigger berbentuk pameran 18 Happening in 6 Parts pada 1959 karya Allan Kaprow, hingga para pemabuk muda intelek kelas pekerja di club CBGB New York pencetak nama Patti Smith dan Ramones, serta kumpulan pemuda epilepsy pada 24 hours party people. Dari hal tersebut, beranikanlah dirimu untuk berdialektika bahwa musik yang layak menjadi cult adalah musik yang susah untuk dikategorikan dari segi genre, setidaknya pada masa kemunculannya.
***
Pesona Nada Senja 2 adalah tajuk acara yang dipakai DeadMediaFm dalam mengakomodasi band-band cult malam itu. Dengan nuansa kolonial Netherland-Hindis yang memperlakukan penonton layaknya meneer dan mevrouw, sekitar pukul 8 malam lebih sekian menit, acara dimulai oleh MC cantik, Fani.

Jatah pertama dilahap oleh liarnya Zoo (avant/math-rock/freejazz/ethnic). eksplorasi noise, lirik berbahasa Indonesia, cengkok etnik(ian), freejazz, dan hancur pastinya, mereka menjelma sebagai salah satu amunisi terbaik kota Jogja. Penampilan mereka selalu menarik, sayang malam itu sound-nya sedikit bermasalah sehingga sering terjadi miss.

Finalis indiefest purna, Sister Morphine yang pada malam itu hanya berdua (sebelumnya bertiga), melanjutkan estafet. Piano Blues adalah warna musik mereka. Meski tidak buruk, tapi kemunculan mereka menjadi headline di acara ini saya rasa tidak pas. Karena menurut saya mereka tidak memiliki unsur ambiguitas genre seperti headliners lain.

Mari kita sambut, Individual Life ! “ungkap MC setelah Sister Morphine turun panggung”. Post-rocker ini sangat representatif bagi kalian yang terlalu larut bersedih menunggu Godspeed You! Black Emperor tak urung juga bereuni. Mengusung pasukan biola, violin, bass biola (cello), mereka menciptakan nuansa overgloom. Sulit sekali menahan godaan untuk bunuh diri saat menyaksikan mereka.

Berikutnya adalah Electrocore, yang malam itu Venzha sendirian. Seperti halnya me-rewind acara Psychic TV di akhir decade 70-an, Electrocore masih tetap menjadi jelmaan kemarahan berkonduktor new media art performance, kebisingan, intensitas fisikal, mesin-mesin parallel, pengrusakan, hujan, dan tentunya berkarat. Electrocore juga baru saja menyelesaikan tur di beberapa negara Eropa & Asia.

Klimaks voyaging adalah duo mistis sepasang suami-istri (Iyub & Dita) dari Ibu Kota, Jakarta, Santamonica (SM). Seperti halnya pujian yang telah dilangsir oleh para jurnalis, pengamat, maupun kritikus musik, SM adalah ramuan dari multidisiplin genre yang berbasis indiepop dan elektronik. Mengunyah ramuan hasil meditasi mulai Astrud Gilberto hingga My Bloody Valentine, dari artworks Salvador Dali hingga petualangan Alice in Wonderland, jurnalis gila Chuck Palahniuk hingga sci-fi Philip K. Dick, dan seterusnya dan seterusnya. Set panggung cukup lama karena boyongan analog equipment mereka yang banyak. Mengusung materi dari album curiouser and curiouser plus 1 lagu baru, mereka tampil dalam format band. Show sempat terhenti karena technical error, sound panggung mati, namun penonton masih setia menunggu hingga dibenahi. Setelah set ulang selesai, SM kembali memainkan lagu-lagu mereka dengan sound yang kurang maksimal.

***
Overall , ini adalah pertunjukkan sirkus fantasi yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi nilai pencerdasan. Well, pesan saya, “berimajinasilah seliar mungkin dan hancurkan batas-batas yang telah mapan!” karena hakikatnya “the passion of destruction is the passion of creation.

Let’s get voyage to the Dreamland!

-------------

text : Bandenk
photos : Bondan
more photos http://picasaweb.google.com/bondiy/PesonaNadaSenja2

Senin, 25 Mei 2009

UGM Jazz 2009

Malam minggu ini Sabtu, 23 Mei 2009, UGM menyelenggarakan acara tahunan economics jazz yang ke-11, setelah absen pada tahun lalu, tahun ini saya berkesempatan menonton pagelaran ini. Tak lupa membawa kamera, berikut hasil foto-foto selama acara berlangsung.

















---------------------------
foto-foto lainnya:
http://picasaweb.google.com/bondiy/UGMJAZZ
http://www.facebook.com/album.php?aid=80878&id=731867242&l=0390642373